Pdt. Arnold Bliederyus, STh

Pdt. Arnold Bliederyus, STh

Kamis, 23 September 2010

FAITH DEVELOPMENT THEORY JAMES W. FOWLER



A.      Pendahuluan
      
       James W Fowler dilahirkan pada tangal 12 Oktober 1940 di daerah North California, Amerika Serikat. Ketika berumur 12 tahun (1952), keluarga Fowler pindah ke daerah dekat Great Smoky Mountains di North Carolina, di sekitar Asheville.  Ayahnya adalah seorang direktur Summer Conference Center. Suasana iman yang mendalam di dalam keluarga, khususnya berkat pengaruh sang ayah yang menjadi pendeta gereja Methodist, mendorong pemuda James mengadakan refleksi teologis terhadap masalah-masalah iman. Ia merasa diri terpanggil untuk menjadi pendeta dan dengan demikian ia mengikuti jejak ayahnya. James meraih Diploma teologinya pada Drew Theological seminary. Selama itu, selama setahun ia menjalankan pembinaan praktis di interpreter’house, yang pusat pendalaman rohani antar-agama dan antar-ras.       Kegiatan ini menjadi sangat penting bagi perkembangan pemikirannya. James kemudian melanjutkan studi doktornya dalam bidang teologi di Harvard University pada jurusan Harvad ‘religion and society Program.[1]
       Di Harvard ia berkenalan dengan dua pemikiran, yang kemudian menjadi sangat penting bagi perkembangan intelektualnya. Yaitu teolog H. Richard Niebuhr dan psikoanalisa Erik H. Erikson. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan dan pembicaraan tentang hal perkembangan manusia, dan pertemuan ini sangat penting bagi Fowler karena disinilah benih-benih Faith Development Theory disemai. Ia mengisafi bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai makna hidup dan iman yang diajukan kepada orang-orang yang mencari bimbingan serta harus menjawab secara terbuka dan sejujur mungkin, harus dijawab pula dengan cara yang sama. Semua pertanyaan dan jawab itu mengajaknya untuk menyingkap proses perkembangan dan fungsi dari sebuah gaya hidup yang eksistensial.[2]
       Fowler menemukan bahwa banyak pola dan tema penting yang sama berulang kali muncul dalam cerita-cerita mereka, kendati hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa khas dalam hidup mereka masing-masing berbeda. Ada dua pola dan tema yang mencolok bagi Fowler, yaitu:
1.      Fowler terkesan oleh pengaruh formatif dan deformatif masa kanak-kanak terhadap kehidupan dewasa sipencerita riwayat hidup. Tanpak jelas ada hubungan erat antara gaya kepercayaan dan pola identitas pribadi.
2.      Ia juga menemukan bahwa kepercayaan pribadi konkret berkisar pada tema-tema khas, yang secara intriks berkaitan dengan sesuatu tahap perkembangan psikokognitif dan social tertentu dalam siklus hidup pribadi yang bersangkutan.

B.       Empat Periode Perkembangan pemikiran psikologis Fowler.

       Berikut ini adalah empat periode yang mengambarkan tentang perkembanngan pemikiran Fowler dalam penyelidikan dan perumusan teori perkembangan kepercayaan. Ke empat periode tersebut adalah :

v  Periode Pertama : Penemuan intuitif-global atas pola-pola dasar  dan sifat keberaturan yang     terdapat pada cerita-cerita  riwayat hidup religious (1968-1970).[3]
v  Periode Kedua  : Penemuan Psikologi Perkembangan yang kognitif structural (1970-1981)[4]  
v  Periode Ketiga : Konsolidasi keluar struktur atas Fith Development Theory yang kognitif-struktural. (1981-1984).[5]
v  Periode Keempat : Integrasi teoritis ke dalam dan keterbukaan ke luar serta tekanan baru pada implikasi pedagogis, teologi, dan pastoral. (1984).[6]

C.      Kepercayaan dan Dimensi Kepercayaan eksistensial menurut Fowler

Dalam memahami tujuan Faith Development Theory perlu dijelasakan tentang arti kepercayaan. Pengertian awal Fowler  tentang kepercayaan adalah kompleks karena multidimensionalnya. Ia tidak menfasirkan kepercayaaan secara teologis, tetapi ia menbatasi diri pada penelitian tentang kepercayaan sebagai dinamika proses sebagaimana tampak dalam perjalanan riwayat hidup seorang pribadi atau kelompok. 
     Pernyataan Fowler tentang kepercayaan : “Kepercayaan hendaknya dimengerti secara dinamis. Kepercayaan itu meliputi kenyataan bahwa pribadi menemukan arti atau ditemuka oleh arti. Kepercayaan mencakup baik konstruktif aktif atas keyakinan dan komitmen maupun sikap pasif dalam menerimanya. Kepercayaan mencakup segala ekspresi religious eksplisit dan seluruh pembentukan kepercayaan, dan juga segala cara untuk menemukan dan mengarahkan diri pada koherensi dalam lingkungan yang akhir, namun yang tidak bersifat  religius.” Kepercayaan hendaklah dipandang sebagai tindakan asli eksistensi kita sebagai upaya mencari arti dan makna.  Adapun dimensi-dimensi kepercayaan eksistensial menurut Fowler adalah :
1.      Dimensi Dasar : Pemberian arti.
Fowler bertitik tolak pada filsafat bahwa manusia membutuhkan arti dan makna, mengacu pada arti dan makna itu.  Manusia itu sendirilah yang membuat arti. Dalam pandangan Fowler, Faith kiranya sinonim dengan “pengertian” pemberian arti dan makna. Faithing dipandang sebagai sebagai dinamika proses pemberian arti dengan mana manusia menyingkapkan arti hidupnya. “Secara dinamis, Faith di mengerti sebagai proses yang meliputi upaya menemukan arti sekaligus untuk ditemui oleh arti.
2.      Dimensi kedua : Faithing
Faithing adalah suatu kegiatan yang bersifat relasi atau hubungan. Sebagaimana pemberian arti dan makna, faithing atau kepercayaan eksistensial hendaklah dilihat manurut perspektif “relasi” sebab pemberian arti bersifat percaya. Secara umum boleh dikatakan bahwa kepercayaan   selalu bersifat social dan interaktif. Secara sosiologis, kepercayaan religious menuntut ada suatu kelompok, bahasa, upacara, dan tradisi rohani yang membentuk kepribadian religious. Secara teologis, kepercayaan juga bersifat “relasi” karena dibentuk dan ditimbulkan oleh inisiatif  orang-orang lain yang mendahului dan melebihi kita yakni para pendiri agama yang jenius dan pewaris kekayaan tradisi agama, terutama oleh inisiatif Allah transenden sendiri.
3.      Dimensi Ketiga : Pengertian
Fowler bermaksud mempelajari kepercayaan sebagai kegiatan menegenal, yaitu sebagai suatau cara khas pengertian dan pengkonstuksian mental, dan terutama sebagai bagian dari seluruh kegiatan mengenal kontruksi diri ego.  Dan masih banyak aspek lain dalam kegiatan mengenal ini, seperti aspek social-kognitif dan eksistensial-metafisik, yang mencakup pengertian kepercayaan.

D.      Tujuah Apsek Struktur dalam Tahapan Kepercayaan Eksistensial

       Fowler berhasil mempelihatkan tujuh aspek operasioanl atau struktur sedemikian rupa sehingga masing-masing aspek  diubah secara struktur sedemikian rupa sehingga masing-masing aspek diintegrasikan dan direintegrasikan secara khas. Setiap aspek boleh dipadang sebagai lensa atau jendela yang memungkan untuk memperoleh suatu khas tentang sekumpulan untaian perkembangan yang menyatu dalam tahap. Berikut ini adalah ke tujuh aspek tersebut.

1.      Aspek A, “Bentuk Logika” : Kepercayaan bukan merupakan perasaan yang tidak rasional, tetapi sebagai Faith-knowing yang memiliki suatu bentuk khas, yaitu bersifat holistic dan integrative, menyatu dalam logika keyakinan, menyatu dalam logika keyakinan.  Dalam Aspek A dititik-beratkan seluruh pola formal pemikiran dan penalaran yang pada tahap kognitif tertentu tersedia bagi pribadi.
2.      Aspek B, “Pengambilan Peranan : Kepercayaan pribadi bukanlah urusan pribadi serba privat semata-mata sebab berkembangnya  kepercayaan pribadi sangatlah bergantung dari orang-orang lain. Pada mulanya kita percaya karena orang lain percaya, dan kepercayaan kita mengikuti contoh kepercayaan mereka. Perspektif kepercayaan kita diambil alih oleh perspektif kepercayaan orang lain, misalnya kepercayaan orang tua, dll.
3.      Apsek C, “Pembentukan Moral” : Fowler menerapkan pandangan Kohlberg mengenai tahapan-tahapan pertimbangan moral untuk menjelaskan tahapan-tahapan kepercayaan dalam bentuk yang agak dimodifikasi. Menurutya tahapan percaya bukan merupakan tahap terakhir dan metaforis yang memahkotai seluruh perkembangan moral, sebagaimana dipandang oleh Kohlberg.
4.      Aspek D, “Batas-batas Kesadaran Sosial” : Yang menjadi masalah disini adalah sampai dimana jangkauan kesadaran social.  Dalam aspek ini dapat dikemukankan beberapa pertanyaan tentang seberapa tinggikah kesadaran pribadi, dll. Dengan kata lain batas-batas kesadaran menitik-beratkan luas dan jangkauan pengaruh orang-orang lain, serta kelompok-kelompok yang menjadi penting bagi seorang pribadi dalam upayanya menyusun dan memelihara identitas dan dunia sosialnya dalam setiap tahap kepercayaannya.
5.      Aspek E, Tempat Autoritas” : aspek ini menyakut soal siapa dan apa yang diakui dan diterima sebagai instansi autoritas bagi sang pribadi. Apa dasar anda sumber acuannya, siapa yang dianggap sebagai acuan dan suber legitimasi yang memungkinkan pribadi tersebut mengembangkan susuanan arti yang paling penting bagi pengalaman kepercayaannya, sehingga menjadi sah dan kokoh dan patut dipercayai Pribadi, gagasan, lembaga mana yang menjadi tempat andalan bagi pribadi dalam menentukan arti makna.
6.      Aspek F, Bentuk Kohenrensi Dunia : aspek ini memfokuskan  kita pada cara bagaimana tiap tahap kepercayaan dapat menyumbang pada upaya pribadi untuk menciptakan keseluruhan arti dalam suatu pandangan dunia yang semakin konfrehensif dan integral. Aspek ini menggambarkan sederetan cara memandag dunia yang khas bagi suatu tahap dan digunakan  pribadi untuk memahami dan membayangkan pola-pola koherensi. Dalam aspek ini diuraikan bagaimana pribadi dalam masing-masing tahap kepercayaan menangkap dunia arti.
7.      Aspek F, “Fungsi Simbol” : Hal ini menyangkut soal perkembangan kemampuan menggunakan dan memahami symbol.

E.       Teori tahap Kepercayaan Menurut James Fowler.
      
1.      Tahap Kepercayaan awal dan Elementer (Primal Faith)  0-2 tahun.

Tahap ini ditandai oleh cita rasa yang bersifat preverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elementer kepada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi. Serta pada gambaran tentang kekuasaan akhir yang dapat dipercaya untuk mengatsi rasa takut yang timbul dalam diri anak kecil  sebagai akibat dari ancaman peniadaan hidup dan pemisahan dirinya dari para pengasuhnya. Fungsi kepercayaan elementer awal adalah menciptakan suatu jaringan kuat yang terjalin oleh sejumlah arti vital yang dapat diragukan, demi menanggulangi kontingensi eksistensi yang menjelma dalam ketakutan fundamental akan ketiadaan dan perasaan asli tentang rapuhnya segala sesuatu yang ada. Kepercayaan elementer adalah suatu rasa yang menyusun gambaran atau pragambar. Kepercayaan menciptakan pragambar afektif tentang  daya-daya ultim yang kuat dan yang dapat diandalkan guna mereda dan mengalahkan rasa takut yang disebabkan oleh rasa takut ontologis dan kerapuhan eksistensial.  Semula Fowler menamakan tahap ini Undifferentiated faith, baru kemudian sebagai Primal faith, hal ini sebabkan oleh masih bersatunya rasa kepercayaan, keberanian, harapan, dan kasih sayang dan tak terbeda-bedakan.

2.      Tahap kepercayaan Intuitif-proyektif (2-6 tahun)

Anak yang kita temukan pada tahap ini adalah anak yang didorong oleh rasa diri yang terbagi antara keinginan dan untuk mengekspresikan dorongan hatinya dan ketakutannya akan ancaman hukuman karena kebebasannya yang tanpa batas dan tanpa kekang.  Proses berpikir anak berjalan lamban dan tidak pasti karena proses tersebut berlangsung dengan penuh kesalahan logis. Anak asyik meniru orang dewasa yang penting baginya  sebagai sumber autoritas mutlak dan instansi kekuasaan akhir yang ekstren.
Kira-kira umur 2 tahun, tahap pertama yang preverbal diakhiri dengan timbulnya kesanggupan untuk berbahasa. Anak belajar untuk menguasai dan menggunakan bahasa menurut peraturan bahasa itu sendiri, maka ia memiliki suatu medium baru menyusun, mengatur, dan mengantarai seluruh relasinya dengan dunia, orang lain, dan dirinya sendiri dengan suatu cara yang sungguh-sungguh baru. Perkembangan lainnya adalah kesanggupan anak dalam daya gerak fisik dan mental yang lebih luas.

3.      Kepercayaan Mistis-Harfiah (6-11 tahun)

Berbagai pola baru kita temukan pada pola pengertian kepercayaan mistis-harafiah ini. Anak mulai berpikir secara “logis” dan mengatur dunia dengan kategori-kategori baru, seperti kasualitas, ruang dan waktu. Ia akan berusaha untuk menyelidiki segala hal dan seluruh kenyataan. Aspek paling penting dan mencolok dari tahap ini ialah bahwa anak akan menyusun dan mengartikan dunia pengalamanya melalui medium cerita dan hikayat. Tentang struktur ketergantungan terhadap orang lain, pada masa ini akan ingin memantapkan kemandirian dan mengokohkan harga dirinya dengan mengembangkan dan memperlihatkan kompetensi sosialnya. Mengapa pada tahap ini dikatakan sebagai tahap kepercayaan mistis?, alasannya adalah cerita mistis merupakan unsur pembentukan kognitif dan structural utama dalam proses pembangunan identitas diri social dan hidup kepercayaan anak. Yang mistis meliputi seluruh dimensi naratif (termasuk cerita, symbol, mitos dan sebagainya. Yang mengandung khazanah arti dan nilai yang kaya dari tradisi budaya dab religious sebagaimana disajikan kepada anak oleh lingkungan social dan kelompok miliknya.
Tahap ini diberi ciri harafiah alasannya adalah pada tahap ini anak sebagai besar mengunakan  symbol dan konsep secara konkret dan menurut arti harafiahnya. Pada tahap mistis-harafiah, Allah tidak lagi digambarkan  dalam konteks imajinasi-antropomorf , melainkan lebih dipahami menurut simbolisasi antropomorf melulu. Allah dipadang semata-mata sebagai  seorang pribadi, ibarat orangtua, atau seorang penguasa yang bertindak dengan sikap memperhatikan secara konsekuen, tegas, dan jika perlu, keras. Kekuatan dari tahap ini adalah: munculnya daya naratif yaitu segala cerita, drama, motif sebagai sarana yang paling cocok dan digemari anak untuk menyusun arti dan menciptakan koherensi diberbagai aliran pengalaman anak. Kelemahannya adalah timbulnya prisnsip mengenai gambaran seluruh lingkungan akhir dan Allah. Prinsip dan sikap ini adalah perfeksionis yang kaku tidak kenal krompomi.

4.      Kepercayaan Sintetis-Konvensional (12 sampai masa dewasa)

Pada umur 12 atau 13 tahun suatu perombakan terjadi dalam pengertian siremaja. Muncullah berbagai macam kemampuan kognitif yang memaksa anak untuk kembali meninjau pandangannya. Dalam tahap ini juga anak mampu untuk merefleksikan dirinya. Pada tahap ini Allah dipandang bukan lagi sebagai  antropomorf semata, melainkan sebagai hubungan antarpribadi mutual. Anehnya pada tahap ini Allah juga sering digambarkan sebagai Allah yang konvensional, yaitu Allah sebagaimana diyakini oleh pandangan konvesi mayoritas masyarakat. Seakan-akan wajah Allah tersusun bagaikan kumpulan berbagai macam sikap, nilai, gambar, dan keyakinan kepercayaan umum yang konvensional. Keuntungan dalam tahap ini adalah timbulnya rasa janji setia antar pribadi dengan demikian ia mampu mempercayakan dirinya sepenuhnya tanpa syarat kepada pribadi lain. Kerugiannya dalam kepercayaannya tertdapat tokoh-tokoh andalannya yang sama sekali tidak kritis, akibatnya perkembangan yang otonomi lain seperti keandirian, ketidakbergantungan yang sehat dalam hal bertindak akan menjadi sulit dan di hambat.

5.      Kepercayaan Indivudukatif-Reflektif (18 tahun dan seterusnya)

Dalam tahap ini manusia mengalami perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Ada tiga hal yang tejadi dalam tahap ini yaitu:
Pertama: Pada tahap ini muncul kesadaran jelas tentang indentitas diri yang khas dan otonomi tersendiri, ia akan semakin dapat melihat perbedaan dari banyak pribadi.
Kedua : Dengan daya operasional formal dan sikap refleksi yang tinggi  ia mulai mempertanyakan nilai, pandangan hidup.
Ketiga : Ia sendirilah yang mempunyai tugas untuk mengabil keputusan dan yang menyingkirkan kepercayaan lain. Pada masa ini akan cepat tanggap dan kristis terhadap pemimpin yang ideologis dan kharismatik.


6.      Kercayaan yang Konjungtif (usia setengah baya 30-40 tahun)

Pada permulaan usia paruh hidup yang kedua, sekitar 35 tahun, gambaran diri yang disusun oleh orang dewasa biasanya timbul kembali secara radikal.  Pada taha ini pribadi akan mencapai tingkatan kepolosan kedua yang meresapi rasa tanggap baru terhadap segala arti symbol yang mengandung banyak dimensi.  Iman dalam tahap ini secara pribadi dirasakan sebagai kekuatan eksistenisal yang paling besar dan paling penting, jauh melampaui segala daya manusia yang terbatas. Seluruh kehendak, upaya, tindakan, gangguan tragis, yang tidak dapat dapat diatsi dalam tahap ini. Oleh karena itu, sang pribadi sering dilumpuhkan oleh sikap pasif yang tragis dan fatalistic, penderitaan kerena banyaknya pertentangan luar dalam yang tidak teratasi ini membawa sang pribadi kedalam tahap ketujuh yaitu, kepercayaan yang mengacu pada universalitas yang dapat mewujudnyatakan segala janji dan undangan ke universalitaas konkret.

7.      Kepercayaan Yang mengacu pada Universalitas.

Kepercayaan ini sebenarnya jarang terjadi, dan jika terjadi umumnya terjadi sesudah umur 30 tahun. Tahap ini biasanya muncul pada tokoh-tokoh besar di sejarah agama. Pribadi mengosongkan diri, tetapi sekaligus mengalami diri sebagai mahluk yang berakar dalam Allah dan daya kesatuan Adanya, dan inilah yang menjadi pusat perspektif baginya.

F.       Tinjauan Teologis

          Kepercayaan berpuautan dengan suluruh sumber makna, nilai, dan kekuatan. Dalam tahap perkembangan ini manusia melalui proses dalam mengokohkan kepercayaan dalam dirinya dan menentukan kepada pribadi mana ia mencurahkan kepercayaannya sepenuhnya tanpa syarat. Dalam perjalanan kehidupan manusia tentu saja mengalami banyak peristiwa-peristiwa yang dilalui. Ada kalanya peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan kekecewaan dalam segi rohaninya, dan akhirnya mengakibatkan menurunnya kepercayaan dalam dirinya terhadap gereja maupun terhadap agama.
          Dalam proses perkembangan kepercayaan dari dasar hingga pada kepercayaan yang universal, orang tua, gereja harus terus memberikan pendampingan agar setiap pribadi tidak terjerumus pada kepercayaan yang semu. Sebab kepercayaan bukanlah suatu usaha untuk percaya terhadap suatu atauran, pandangan, perintah melainkan kepercayaan Kristen diarahkan kepada kepercayaan kepada “seseorang” bukan pada “sesuatu”.
          Allah yang transenden haruslah dipahami oleh tiap pribadi dengan iman dan kepercayaan yang penuh, terkadang ketika manusia membutuhkan pertolongan untuk keluar dari masalah manusi mencari Allah dan jika pemahaman akan Allah yang transenden tidak dipahami maka ia akan merasa bahwa Allah tidak berbuat apa-apa atas permasalahnya. Allah yang transenden ialah Allah yang walaupun hanya dapat dilihat oleh mata iman saja namun tetap berkarya dalam setiap perjalanan kehidupan manusia. Ia adalah Allah yang harus dipercaya dengan tanpa syarat sebab dalam waktu, sejarah dan kehidupan manusia kekuasaan dan kesungguhan Allah terlah terbukti. Manusia yang percaya secara penuh akan mampu merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, dan dari tahap-tahap perkembangan ini Allah telah berkarya melalui manusia yang mencari dan menemukan iman dan kepercayaannya.


Daftar Pustaka
Agus Cremers, Agus, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan-menurut James w. Fowler, sebuah gagasan baru dalam Psikologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.



[1] Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan-menurut James w. Fowler, sebuah gagasan baru dalam Psikologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 15.
[2] Ibid., hlm. 17-18.
      [3]  Pada periode ini ia menemukan benih intuisi dasar dan orientasi global bagi psikologi agama yang baru. Pada periode ini sangat penting dalam membentuk sikap terapeutis-pastoral fowler.Dari metode konseling yang bersemangat “Rogerian”, Fowler menyadari betapa pentingnya sikap terapeitis mendengarkan secara nondirektif. Dari sikap tersebut harus di beri beberapa penekanan spserti ekspresi verbal dan pengalaman pengalaman perasaan klien, rasa hormat terofis terhadap klien unik, pentingnya klien menghayati perasaan dan unsure dialogis. Berkat bantuan Erikson, ia menyadari bahwa betapapun kaya dan kompleksnya  setiap pribadi namun tetap megikuti sejumlah pola tahap umum perkembangan psiko-sosial.
         [4] Periode ini merupakan tahap bejalar dan penyelidikan empiris. Pemikiran.

[5] Penelitian empirisnya pada masa ini menghasilkan karya utama Stage of Faith (1981).  Periode ini ditandai oleh konfrontasi yang datang dari dari ahli psikologi lainnya. Fowler harus menjelaskan tulisan dan pemahaman barunya dalam stage of faith.
[6] Periode keempat ini ditandai oleh sikap terbuka pada pendekatan-pendekatan psikologis dan sosiologis lain serta usaha mengintegrasikan segala aspek positifnya semaksimal mungkin.  Ke dalam teori perkembangan kepercayaan yang diperluas dan diperkaya itu. Sikap Fowler semakin terbuka dan intergratif karena ia menyadari bahwa betapa banyak hal yang dapat dipelajari dari pakar lain sehingga kritik dapat dicegah sedini mungkin.